Menyoal isu HAM untuk Ahmadiyah
Oleh: Zainudin Paru, S.H.
Negara Hukum
Pada dasarnyasetiap warga negara Indonesia dilindungi oleh hukum, termasuk urusan HAM. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)[2] jo. Pasal 27 ayat (1)[3]
UUD Negara Republik Indonesia, sehingga tiap hal yang dilakukan di
negara ini harus beralaskan hukum. Hukumlah yang mengatur hak serta
kewajiban tiap warga negara apa pun jabatannya, apa pun institusinya.
Terkait dengan perimbangan hak asasi manusia di Indonesia, Pasal 28 J ayat (2)[4] adalah frame
yang dapat diartikan secara singkat bahwa hak seseorang akan suatu hal
terikat dengan hak orang lain. Oleh karenanya, tidak serta merta hak
seseorang dapat terwujud tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang
bersinggungan dengannya. Pada bagian ini termasuk masalah yang cukup
sensitif, agama.
Setidaknya pengaturan masalah agama dalam UUD Negara Republik Indonesia dapat dilihat dari Pasal 28E[5] dan Pasal 29 ayat (2)[6].
Pada dua pasal ini dengan tegas dinyatakan hak setiap orang dan
kewajiban pemerintah. Sehingga menjadi hak tiap orang untuk memilih
agama kemudian melaksanakan ajaran agamanya itu, di sisi lain Pemerintah
berkewajiban menjamin orang yang sudah memilih agamanya agar mereka
dapat tetap menjalankan agamanya tanpa ada yang merecoki. Lantas bagaimana dengan kasus Ahmadiyah?
Pada
kasus Ahmadiyah, tiap orang yang bergabung dengan organisasi tersebut
memiliki hak yang sama dengan yang lain dalam menentukan agamanya.
Ketika para pengikut Ahmadiyah meyakini Islam sebagai agama mereka, maka
pengikut Ahmadiyah otomatis dijamin oleh Pemerintah untuk melaksanakan
ibadah sebagaimana diajarkan oleh Islam. Kenyataanya adalah,
prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Islam mengenai Rasulullah
Muhammad sebagai Nabi terakhir dan Al Qur'an sebagai Kitab Suci dengan
terang-terangan dilanggar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat semenjak tahun 1980, lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005[7].
Fakta ini membuktikan bahwa Agama Islam yang diyakini sebagai agama
pengikut Ahmadiyah tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya, sehingga
penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah telah mencederai hak
umat Islam dalam melaksanakan agamanya.
Islam
sendiri terhadap kelompok demikian telah memiliki aturan tersendiri
sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad dan Abu Bakar selaku
pemimpin negara, yaitu memerangi. Tindakan memerangi itu pun dilakukan
sebagai langkah terakhir jika himbauan-himbauan sebelumnya tidak
diindahkan. Hal itu dilakukan mengingat perbedaannya dengan perlakuan
terhadap agama lain, yaitu "Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku"
(QS. Al Kaafiruun 109: 6). Oleh karena di Indonesia tidak dapat
dilakukan hal yang demikian, maka Pemerintah dalam rangka melaksanakan
kewajibannya (menjamin kemerdekaan beragama) harus melandaskan pada
peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Artinya, selama
pengikut Ahmadiyah tidak melaksanakan ajaran Islam secara konsisten maka
pemerintah wajib melindungi pihak lain yang dicederai, Umat Islam.
Kriminalisasi
Suatu
negara dapat menjadikan sebuah perbuatan yang sebelumnya normal menjadi
perbuatan kriminal dengan sebuah peraturan perundang-undangan,
contohnya tentang ketentuan membawa SIM ketika mengendarai kendaraan.
Begitu juga dengan kewajiban pemerintah menjamin kemerdekaan beragama
dan menjalankan agama bagi pemeluknya. Pemerintah perlu menjaga hak
beragama dari penduduk yang ada dalam wilayah kekuasaannya agar tidak
dicederai oleh satu atau beberapa orang. Untuk itu, Pemerintah
memerlukan perangkat yang mampu menjaga korban sekaligus sebagai terapi
bagi pelakunya.
Pada
kasus Ahmadiyah atau yang sejenisnya, seperti Lia eden dan Ahmad
Moshaddeq. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agamayang kemudian diikuti oleh
Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 108/JA/5/1984[8]
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pakem, adalah mekanisme yang telah
diatur dan masih berlaku dalam menyelesaikan tindakan yang dianggap
pidana.
Mekanisme itu sendiri diatur untuk memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP[9]. Proses pemidanaan ini sesuai dengan asas legalitas Pasal 1 KUHP[10].Lantas bagaimana dengan anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 sudah tidak relevan dengan demokrasi saat ini?
Sistem
peraturan perundang-undangan di Indonesia, menjadikan sebuah peraturan
yang telah ditetapkan hanya bisa dicabut atau dinyatakan tidak berlaku
dengan mekanisme tertentu. Selama mekanisme tersebut belum dijalani,
maka peraturan itu tetap mengikat. Mekanisme judicial review ke Mahkamah
Agung (MA) hanya dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan sejak di sahkan,
itu pun peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang seperti
peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan undang-undang terhadap UUD Negara
Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tetap
memperhatikan syarat-syarat yang mengikutinya.
Khusus
pengajuan permohonan ke MK, dengan alasan tertentu dapat saja MK
mengabulkan permohonan sang pemohon untuk menyatakan tidak berlakunya UU
No.1/PNPS/1965. Seandainya pun dicabut, tidak serta merta menjadikan
Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah menjadi batal. Patut
kita ingat kasus korupsi yang berlandaskan PP 110 tahun 2000 yang tidak
serta merta "ditinggalkan" meski sudah diajukan judicial review, dan
meski UU No 22 tahun 1999 sudah di ganti menjadi UU No 32 tahun 2004. PP
tersebut harus menunggu terlebih dahulu penerbitan PP terbaru yang
kemudian diatur dalam PP 24 tahun 2004. Ini menunjukkan bahwa sebuah
peraturan harus memenuhi kaidah dalam pembuatan dan pencabutannya, yaitu
kaidah proses dan lembaga yang berwenang. Maksudnya adalah sebuah
peraturan baru dapat dinyatakan tidak berlaku jika ada peraturan
dan/atau lembaga yang sama, atau lebih tinggi, yang menyatakan bahwa
peraturan sebelumnya tidak berlaku.
Filosofi Kebenaran
Banyak
pihak yang mempertanyakan posisi MUI yang menerjemahkan kebenaran atau
sesuatu yang dianggap benar, dalam hal ini terkait keputusan MUI
menyatakan "sesat menyesatkan"-nya suatu kelompok. Pada dasarnya
kebenaran diketahui dari ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari
pengalaman (empiris) maupun dari wahyu (normatif). Misalkan mengenai
teori Heliosentris, yaitu bumi yang mengitari matahari, dimana hal ini
sudah disampaikan berabad lalu di daerah tandus padang pasir melalui Al
Qur'an (normatif) dan kemudian dibuktikan (secara empiris) oleh manusia.
Berdasarkan ilmu dan pengetahuan itulah, manusia melalui nalar dan daya
pikirnya mampu menganalisa hal yang benar untuk kemudian diyakini
bersama. Jika tidak demikian, maka manusia akan terus berkutat
dipertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung habis.
- Apa yang dapat menjadikan pendapat anda dikatakan benar?
- Apa kriteria bahwa dasar pendapat anda adalah benar?
- Siapa yang membenarkan?
- Apakah mereka orang-orang benar?
- Apa kriteria bahwa mereka termasuk orang yang benar?
- … dan seterusnya.
Penulis hendak mengutip contoh dari Prof. Sjeichul Hadi Permono, MA[11]"Contoh
kecil saja. Kalau tidak ada institusi yang berani mengatakan yang
'benar' itu benar dan yang 'salah' itu salah. Maka negara ini bingung.
Nanti polisi bubar karena tak berani menangkap penjahat. Sebab setiap
mau menangkap dia tak berani karena sudah keracunan 'tak ada monopoli
dalam kebenaran'. Jika begitu, bisa-bisa orang membunuh orang dianggap
benar menurut dia sendiri. Dan kita tak boleh mengatakan itu salah.".
Lantas, siapa yang harus dijadikan pegangan selain orang yang berilmu?
SKB 2 Menteri & Jaksa Agung
SKB
tentang Ahmadiyah telah ditetapkan 9 Juni 2008 oleh Menteri Agama,
Mentari dalam negeri, dan Jaksa Agung. Ada 7 poin yang menjadi putusan
dalam SKB itu[12].
Ketujuh putusan itu diklaim oleh Pemerintah telah menempatkan para
pihak pada alas hak dan alas hukumnya masing-masing, namun juga
memperkenankan bagi yang belum puas untuk menggugatnya di pengadilan.
Pada
bagian lain, sebaik apapun peraturan mengakomodasi kepentingan para
pihak, tetap efektifitasnya memerlukan memerlukan konsistensi dalam
penerapannya di lapangan. Pemerintah diuji konsistensinya dalam
menjalankan apa yang telah ditetapkan. Selama peraturan tersebut belum
diperbaiki, atau dicabut, oleh lembaga dan/atau peraturan yang lebih
tinggi, maka Pemerintah harus tegas menjalankannya. Tanpa itu, sama saja
Pemerintah telah kehilangan kedaulatannya dalam menegakkan hukum yang
sudah ditetapkan.
Masalah
inilah yang kerap membelit penegakan hukum di Indonesia. Terekam dalam
pikiran kita penanganan anggota Front Pembela Islam (FPI) di petamburan
beberapa waktu lalu. Hal ini sangat berbeda dengan penanganan pelantikan
Gubernur Malut, atau penanganan demonstrasi oleh Mahasiswa di
Universitas Nasional (UNAS) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI).
Padahal inti dari itu semua sama, keamanan dan ketertiban umum.
Harapan
Pada
masa yang akan datang, perlu dipahami bersama bahwa hak asasi manusia
yang diakui di ndonesia tidaklah sama dengan hak asasi di negara lain.
Kemajemukan dan keanekaragaman yang telah ada pada bangsa Indonesia,
telah terewajantahkan dalam UUD Negara Republik Indonesia yang turut
mengakomodasi hak setiap orang. Yaitu hak yang tidak mengenyampingkan
hak orang lain, hak yang menimbulkan kewajiban di sisi lainnya. Ketika
kita telah mengambil hak untuk memilih satu agama, maka menjadi
kewajiban kita menjalankan apa yang diajarkan dalam agama itu. Apabila
tidak demikian, berarti telah mengenyampingkan hak orang lain dalam
beragama.
Selain
itu perlu dipahami bahwa hak asasi berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia. Kebebasan berkumpul yang diatur di Indonesia juga menjadikan
organisasi seperti FPI dan Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia. Negara
tidak dapat serta merta membubarkan suatu "idologi" terkecuali secara
nyata-nyata melanggar hukum dan mengancam integritas negara seperti
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mengenai
pasal penodaan agama hanya cocok dikenakan kepada individu dari suatu
organisasi. Sehingga pelaku kekerasan diproses secara individual dan
tidak dengan membubarkan organisasinya. Pada bagian ini, kepolisian
harus adil dalam melakukan tugasnya. Penangkapan seharusnya tidak hanya
pada oknum FPI namun juga kepada oknum Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Terkait Ahmadiyah yang
telah difatwakan menyimpang dari Ajaran Islam, harus diperlakukan
sebagai agama tersendiri di luar Islam. SKB 2 Menteri dan Jaksa Agung
yang telah ditetapkan setidaknya menjadi jalan keluar terbaik pada saat
ini meski dinilai lemah kekuatan hukumnya. Pengaturan yang lebih jelas
dan kuat diperlukan agar tiap pihak mapu menempatkan diri pada
posisinya.
[1] Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum & Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia
[2] Negara Indonesia adalah negara hukum
[3]
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya
[4]
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis
[5] Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…dan seterusnya.
[6]
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah
[8]
Terakhir diperbaharui dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
[9]
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa
[10]
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya
[11] http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2140&Itemid=61
[12] Berikut 7 poin yang sesuai dengan SKB yang asli:
a Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan
penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu.
b Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku
beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran
faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW.
c Penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud
pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan
hukumnya.
d Memberi
peringatan dan memerintahkan semua warga masyarakat untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban
kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
e Warga
masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
f Memerintahan
kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan
langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan
pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
g Keputusan bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Di sampaikan pada diskusi di FIB UI 13 Juni 2009
pahamindonesia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar