justice for all

Pusat Konsultasi Hukum dan HAM NTB, anda bertanya kami menjawab, anda memiliki masalah hukum, mau konsultasi? kami solusinya (hanya untuk Pendidikan dan Sosialisasi Hukum dan HAM)

Selasa, 05 Juni 2012

Menyoal isu HAM untuk Ahmadiyah

Menyoal isu HAM untuk Ahmadiyah


Oleh: Zainudin Paru, S.H.

Negara Hukum
Pada dasarnyasetiap warga negara Indonesia dilindungi oleh hukum, termasuk urusan HAM. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)[2] jo. Pasal 27 ayat (1)[3] UUD Negara Republik Indonesia, sehingga tiap hal yang dilakukan di negara ini harus beralaskan hukum. Hukumlah yang mengatur hak serta kewajiban tiap warga negara apa pun jabatannya, apa pun institusinya.

Terkait dengan perimbangan hak asasi manusia di Indonesia, Pasal 28 J ayat (2)[4] adalah frame yang dapat diartikan secara singkat bahwa hak seseorang akan suatu hal terikat dengan hak orang lain. Oleh karenanya, tidak serta merta hak seseorang dapat terwujud tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang bersinggungan dengannya. Pada bagian ini termasuk masalah yang cukup sensitif, agama.

Setidaknya pengaturan masalah agama dalam UUD Negara Republik Indonesia dapat dilihat dari Pasal 28E[5] dan Pasal 29 ayat (2)[6]. Pada dua pasal ini dengan tegas dinyatakan hak setiap orang dan kewajiban pemerintah. Sehingga menjadi hak tiap orang untuk memilih agama kemudian melaksanakan ajaran agamanya itu, di sisi lain Pemerintah berkewajiban menjamin orang yang sudah memilih agamanya agar mereka dapat tetap menjalankan agamanya tanpa ada yang merecoki. Lantas bagaimana dengan kasus Ahmadiyah?

Pada kasus Ahmadiyah, tiap orang yang bergabung dengan organisasi tersebut memiliki hak yang sama dengan yang lain dalam menentukan agamanya. Ketika para pengikut Ahmadiyah meyakini Islam sebagai agama mereka, maka pengikut Ahmadiyah otomatis dijamin oleh Pemerintah untuk melaksanakan ibadah sebagaimana diajarkan oleh Islam. Kenyataanya adalah, prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Islam mengenai Rasulullah Muhammad sebagai Nabi terakhir dan Al Qur'an sebagai Kitab Suci dengan terang-terangan dilanggar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat semenjak tahun 1980, lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005[7]. Fakta ini membuktikan bahwa Agama Islam yang diyakini sebagai agama pengikut Ahmadiyah tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya, sehingga penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah telah mencederai hak umat Islam dalam melaksanakan agamanya.

Islam sendiri terhadap kelompok demikian telah memiliki aturan tersendiri sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad dan Abu Bakar selaku pemimpin negara, yaitu memerangi. Tindakan memerangi itu pun dilakukan sebagai langkah terakhir jika himbauan-himbauan sebelumnya tidak diindahkan. Hal itu dilakukan mengingat perbedaannya dengan perlakuan terhadap agama lain, yaitu "Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku" (QS. Al Kaafiruun 109: 6). Oleh karena di Indonesia tidak dapat dilakukan hal yang demikian, maka Pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya (menjamin kemerdekaan beragama) harus melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Artinya, selama pengikut Ahmadiyah tidak melaksanakan ajaran Islam secara konsisten maka pemerintah wajib melindungi pihak lain yang dicederai, Umat Islam.

Kriminalisasi
Suatu negara dapat menjadikan sebuah perbuatan yang sebelumnya normal menjadi perbuatan kriminal dengan sebuah peraturan perundang-undangan, contohnya tentang ketentuan membawa SIM ketika mengendarai kendaraan. Begitu juga dengan kewajiban pemerintah menjamin kemerdekaan beragama dan menjalankan agama bagi pemeluknya. Pemerintah perlu menjaga hak beragama dari penduduk yang ada dalam wilayah kekuasaannya agar tidak dicederai oleh satu atau beberapa orang. Untuk itu, Pemerintah memerlukan perangkat yang mampu menjaga korban sekaligus sebagai terapi bagi pelakunya.

Pada kasus Ahmadiyah atau yang sejenisnya, seperti Lia eden dan Ahmad Moshaddeq. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agamayang kemudian diikuti oleh Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 108/JA/5/1984[8] tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pakem, adalah mekanisme yang telah diatur dan masih berlaku dalam menyelesaikan tindakan yang dianggap pidana.

Mekanisme itu sendiri diatur untuk memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP[9]. Proses pemidanaan ini sesuai dengan asas legalitas Pasal 1 KUHP[10].Lantas bagaimana dengan anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 sudah tidak relevan dengan demokrasi saat ini?

Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, menjadikan sebuah peraturan yang telah ditetapkan hanya bisa dicabut atau dinyatakan tidak berlaku dengan mekanisme tertentu. Selama mekanisme tersebut belum dijalani, maka peraturan itu tetap mengikat. Mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA) hanya dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan sejak di sahkan, itu pun peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang seperti peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang mengikutinya.

Khusus pengajuan permohonan ke MK, dengan alasan tertentu dapat saja MK mengabulkan permohonan sang pemohon untuk menyatakan tidak berlakunya UU No.1/PNPS/1965. Seandainya pun dicabut, tidak serta merta menjadikan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah menjadi batal. Patut kita ingat kasus korupsi yang berlandaskan PP 110 tahun 2000 yang tidak serta merta "ditinggalkan" meski sudah diajukan judicial review, dan meski UU No 22 tahun 1999 sudah di ganti menjadi UU No 32 tahun 2004. PP tersebut harus menunggu terlebih dahulu penerbitan PP terbaru yang kemudian diatur dalam PP 24 tahun 2004. Ini menunjukkan bahwa sebuah peraturan harus memenuhi kaidah dalam pembuatan dan pencabutannya, yaitu kaidah proses dan lembaga yang berwenang. Maksudnya adalah sebuah peraturan baru dapat dinyatakan tidak berlaku jika ada peraturan dan/atau lembaga yang sama, atau lebih tinggi, yang menyatakan bahwa peraturan sebelumnya tidak berlaku.


Filosofi Kebenaran
Banyak pihak yang mempertanyakan posisi MUI yang menerjemahkan kebenaran atau sesuatu yang dianggap benar, dalam hal ini terkait keputusan MUI menyatakan "sesat menyesatkan"-nya suatu kelompok. Pada dasarnya kebenaran diketahui dari ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari pengalaman (empiris) maupun dari wahyu (normatif). Misalkan mengenai teori Heliosentris, yaitu bumi yang mengitari matahari, dimana hal ini sudah disampaikan berabad lalu di daerah tandus padang pasir melalui Al Qur'an (normatif) dan kemudian dibuktikan (secara empiris) oleh manusia. Berdasarkan ilmu dan pengetahuan itulah, manusia melalui nalar dan daya pikirnya mampu menganalisa hal yang benar untuk kemudian diyakini bersama. Jika tidak demikian, maka manusia akan terus berkutat dipertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung habis.

  1. Apa yang dapat menjadikan pendapat anda dikatakan benar?
  2. Apa kriteria bahwa dasar pendapat anda adalah benar?
  3. Siapa yang membenarkan?
  4. Apakah mereka orang-orang benar?
  5. Apa kriteria bahwa mereka termasuk orang yang benar?
  6. … dan seterusnya.
Penulis hendak mengutip contoh dari Prof. Sjeichul Hadi Permono, MA[11]"Contoh kecil saja. Kalau tidak ada institusi yang berani mengatakan yang 'benar' itu benar dan yang 'salah' itu salah. Maka negara ini bingung. Nanti polisi bubar karena tak berani menangkap penjahat. Sebab setiap mau menangkap dia tak berani  karena sudah keracunan 'tak ada monopoli dalam kebenaran'. Jika begitu, bisa-bisa orang membunuh orang dianggap benar menurut dia sendiri. Dan kita tak boleh mengatakan itu salah.".

Lantas, siapa yang harus dijadikan pegangan selain orang yang berilmu?

SKB 2 Menteri & Jaksa Agung
SKB tentang Ahmadiyah telah ditetapkan 9 Juni 2008 oleh Menteri Agama, Mentari dalam negeri, dan Jaksa Agung. Ada 7 poin yang menjadi putusan dalam SKB itu[12]. Ketujuh putusan itu diklaim oleh Pemerintah telah menempatkan para pihak pada alas hak dan alas hukumnya masing-masing, namun juga memperkenankan bagi yang belum puas untuk menggugatnya di pengadilan.

Pada bagian lain, sebaik apapun peraturan mengakomodasi kepentingan para pihak, tetap efektifitasnya memerlukan memerlukan konsistensi dalam penerapannya di lapangan. Pemerintah diuji konsistensinya dalam menjalankan apa yang telah ditetapkan. Selama peraturan tersebut belum diperbaiki, atau dicabut, oleh lembaga dan/atau peraturan yang lebih tinggi, maka Pemerintah harus tegas menjalankannya. Tanpa itu, sama saja Pemerintah telah kehilangan kedaulatannya dalam menegakkan hukum yang sudah ditetapkan.

Masalah inilah yang kerap membelit penegakan hukum di Indonesia. Terekam dalam pikiran kita penanganan anggota Front Pembela Islam (FPI) di petamburan beberapa waktu lalu. Hal ini sangat berbeda dengan penanganan pelantikan Gubernur Malut, atau penanganan demonstrasi oleh Mahasiswa di Universitas Nasional (UNAS) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Padahal inti dari itu semua sama, keamanan dan ketertiban umum.


Harapan
Pada masa yang akan datang, perlu dipahami bersama bahwa hak asasi manusia yang diakui di ndonesia tidaklah sama dengan hak asasi di negara lain. Kemajemukan dan keanekaragaman yang telah ada pada bangsa Indonesia, telah terewajantahkan dalam UUD Negara Republik Indonesia yang turut mengakomodasi hak setiap orang. Yaitu hak yang tidak mengenyampingkan hak orang lain, hak yang menimbulkan kewajiban di sisi lainnya. Ketika kita telah mengambil hak untuk memilih satu agama, maka menjadi kewajiban kita menjalankan apa yang diajarkan dalam agama itu. Apabila tidak demikian, berarti telah mengenyampingkan hak orang lain dalam beragama.

Selain itu perlu dipahami bahwa hak asasi berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kebebasan berkumpul yang diatur di Indonesia juga menjadikan organisasi seperti FPI dan Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia. Negara tidak dapat serta merta membubarkan suatu "idologi" terkecuali secara nyata-nyata melanggar hukum dan mengancam integritas negara seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mengenai pasal penodaan agama hanya cocok dikenakan kepada individu dari suatu organisasi. Sehingga pelaku kekerasan diproses secara individual dan tidak dengan membubarkan organisasinya. Pada bagian ini, kepolisian harus adil dalam melakukan tugasnya. Penangkapan seharusnya tidak hanya pada oknum FPI namun juga kepada oknum Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Terkait Ahmadiyah yang telah difatwakan menyimpang dari Ajaran Islam, harus diperlakukan sebagai agama tersendiri di luar Islam. SKB 2 Menteri dan Jaksa Agung yang telah ditetapkan setidaknya menjadi jalan keluar terbaik pada saat ini meski dinilai lemah kekuatan hukumnya. Pengaturan yang lebih jelas dan kuat diperlukan agar tiap pihak mapu menempatkan diri pada posisinya.


[1] Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum & Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia
[2] Negara Indonesia adalah negara hukum
[3] Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
[4] Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
[5] Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…dan seterusnya.
[6] Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah
[8] Terakhir diperbaharui dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
[9] Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
[10] Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya
[11] http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2140&Itemid=61
[12] Berikut 7 poin yang sesuai dengan SKB yang asli:
a         Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
b         Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,  dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
c         Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
d         Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
e         Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
f          Memerintahan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
g         Keputusan bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Di sampaikan pada diskusi di FIB UI 13 Juni 2009

 pahamindonesia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar