justice for all

Pusat Konsultasi Hukum dan HAM NTB, anda bertanya kami menjawab, anda memiliki masalah hukum, mau konsultasi? kami solusinya (hanya untuk Pendidikan dan Sosialisasi Hukum dan HAM)

Selasa, 05 Juni 2012

Hak Istri Saat Jual Beli Rumah

Hak Istri Saat Jual Beli Rumah

Nama Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah
 
Pada dasarnya, nama pemilik hak atas tanah di dalam suatu sertifikat hak atas tanah harus sama dengan nama pembeli di dalam suatu transaksi jual beli. Namun, hal tersebut tidak selalu mutlak terjadi apabila ternyata pembeli di dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (“PPJB”) telah mengalihkan kepada pihak ketiga, atau dalam hal si pembeli meninggal dunia sehingga sertifikat hak atas tanah menjadi atas nama pewarisnya. Untuk melihat apakah PPJB tersebut dapat dialihkan, maka Anda dapat mempelajari klausula peralihan PPJB ke pihak ketiga di dalam PPJB tersebut. Peralihan PPJB ke pihak ketiga juga diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, pada Bagian VIII mengenai Pengalihan Hak, sebagai berikut:
 
“Selama belum dilaksanakannya jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tanpa persetujuan tertulis dari pihak penjual, pihak pembeli dibenarkan untuk mengalihkan hak atas tanah dan bangunan rumah kepada pihak ketiga. Demikian pula sebaliknya berlaku bagi pihak penjual.”
 
Namun, yang perlu dimengerti adalah nama pembeli di dalam AJB tentunya harus sama dengan nama pemegang hak di dalam Sertifikat Hak atas Tanah. Adapun hal tersebut karena suatu pendaftaran hak atas oleh karena jual beli tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), sebagai berikut:
 
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pemegang Hak Bersama dalam Satu Sertifikat Hak atas Tanah
 
Satu sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dimiliki oleh beberapa orang atau badan hukum. Dalam praktiknya, beberapa orang atau badan hukum yang memiliki sertifikat hak atas tanah tersebut disebut sebagai pemegang hak bersama. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (4) dan ayat (5) PP No. 24/1997, sebagai berikut:
 
(4) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukkan tertulis para pemegang hak bersama yang lain.
 
(5) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut.”
 
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Secara prinsip, nama pengaju akad kredit harus sama dengan nama yang tercantum di dalam sertifikat karena pengaju akad pada umumnya ialah pembeli dari suatu properti. Sebagai pembeli yang namanya tercantum di dalam PPJB, tentunya pembeli tersebut akan menjadi pihak ketika dilakukan penandatanganan AJB yang pada akhirnya mengakibatkan nama pembeli tercantum di dalam sertifikat hak atas tanah. Namun, bisa juga terjadi, pengaju akad ialah suami, sedangkan nama yang tertera di dalam sertifikat tanah ialah istri. Hal ini bisa terjadi jika tidak ada perpisahan harta antara suami dan istri tersebut.
 
Harta Bersama
 
Terhadap harta bersama, maka suami atau istri dapat bertindak setelah terdapat persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1/1974”). Pengertian dari harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974, sebagai berikut:
 
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;”
 
Namun, untuk membuktikan bahwa objek jual beli tersebut merupakan harta bersama, tentunya diperlukan suatu bukti pencatatan perkawinan (akta perkawinan) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 jo. Pasal 11 dan Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari bukti tersebut dapat diketahui apakah objek jual beli tersebut merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan, kartu keluarga pada hakikatnya adalah suatu kewajiban pelaporan oleh warga Negara Indonesia atas susunan keluarganya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sehingga, kartu keluarga dapat dianggap kurang memadai untuk membuktikan suatu perkawinan maupun harta bersama.
 
Penjualan Rumah Tanpa Adanya Akta Perkawinan
 
Jika memang tidak ada surat nikah (bukan karena hilang, tapi karena nikah siri), maka perkawinan tersebut bukanlah perkawinan yang tercakup di dalam UU No. 1/1974. Dengan demikian, tidak ada konsep persatuan harta. Dengan kata lain, tidak ada percampuran harta antara keduanya. Oleh karena itu, harta suami ialah milik suami dan harta istri ialah milik istri.
 
Demikian jawaban dan penjelasan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3.    Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4.    Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
5.    Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah


www.hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar