justice for all

Pusat Konsultasi Hukum dan HAM NTB, anda bertanya kami menjawab, anda memiliki masalah hukum, mau konsultasi? kami solusinya (hanya untuk Pendidikan dan Sosialisasi Hukum dan HAM)

Jumat, 27 Juli 2012

SELAMATKAN MUSLIM ROHINGYA (MYANMAR)

Selamatkan Rohingnya, Selamatkan Dunia!

 
Ramadhan ini bisakah mengetuk hati kita untuk ikut memikirkan mereka?/Foto: restlessbeings.org


Jum'at, 27 Juli 2012

Press Release

Selamatkan Rohingnya, Selamatkan Dunia!
ROHINGNYA merupakan etnis minoritas Muslim yang mendiami Provinsi Arakan di sisi sebelah barat laut Myanmar berbatasan dengan Bangladesh, yang saat ini dikenal dengan provinsi Rakhine/Rakhaing. Itu sebabnya Rohingya dikenal juga sebagai Muslim Arakan yang populasinya berjumlah lebih kurang 1.000.000 jiwa dan ratusan ribu lainnya hidup dalam pengungsian di berbagai Negara (Bangladesh, Pakistan, Jazirah Arab, Malaysia-Thailand-Indonesia, Australia).
Sejak kemerdekaan negara Myanmar pada tahun 1948, Rohingya terus menerus menjadi  etnis yang tertindas dan tidak diakui sebagai bagian dari 136 etnis yang diakui di Myanmar.  Padahal, berdasarkan catatan sejarah, sebagai etnis mereka telah berdiam di Arakan sejak abad 7 M.  Alias jauh sebelum Negara Burma/ Myanmar berdiri pada tahun 1948.
Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) mencatat bahwa etnis Rohingya selama beberapa dekade ini, utamanya sejak tahun 1940-an selalu mengalami penindasan, pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, pemiskinan, maupun diskriminasi baik oleh negara, pemerintah, maupun dari sesama  penduduk yang berbeda etnis dan agama dengan mereka. Etnis Rohingya banyak yang tidak diakui kewarganegaraan Myanmar-nya.  Juga, mereka tidak mendapatkan hak-hak selayak nya warga negara.
PIARA juga mendapati adanya fakta bahwa kekerasan dan penindasan terhadap etnis Rohingya dalam beberapa dekade ini  telah menyebabkan ribuan  warga Rohingya  tewas dan rumah tinggal mereka dibakar, terjadinya penahanan dan penyiksaan secara sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah dan kelompok mayoritas, kampanye anti rohingya dan anti Muslim,  wanita-wanita Rohingya diperkosa, pembatasan gerak warga Rohingya untuk keluar dari wilayah Rakhine (bahkan untuk keluar kampung-nya pun sulit), pembatasan terhadap pernikahan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan berbagai macam pelayanan publik lainnya.
Dalam konteks hukum HAM Internasional,  hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum merupakan hak yang tidak bisa dikurangi oleh siapapun dan pihak manapun termasuk negara (derogable rights) yang diakui dan diatur di dalam Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Dan berdasarkan Statuta Roma 1998 tentang International Criminal Court, tindakan yang dilakukan terhadap etnis Rohingya selama berpuluh-puluh tahun adalah bentuk pelanggaran HAM berat terhadap kemanusiaan berupa genocide dan crime against humanity.

Selanjutnya, pelanggaran berat HAM (Gross Violation of Human Rights) yang dialami oleh warga Rohingya tidak hanya mengancam eksistensi etnis Rohingya tetapi juga mengancam perdamaian dunia.   Karena etnis Rohingya-pun adalah bagian dari warga dunia yang berhak hidup secara damai di dunia ini.  Pembiaran yang dilakukan terhadap kejahatan yang massif dan sistematis tersebut merupakan wujud ketidakpedulian dunia atas nasib Rohingya. Kemana negara-negara peng-agung HAM? Dimana ASEAN?  Dimana Dewan Keamanan PBB? Dimana negara-negara OKI? Dan dimana kepedulian terhadap sesama manusia?

PIARA sebagai lembaga yang dibentuk untuk melakukan penyadaran publik dan pembelaan terhadap etnis Rohingya, akan terus memberikan informasi dan advokasi secara produktif baik secara nasional maupun internasional untuk mendorong dihentikannya segala bentuk penindasan terhadap etnis Rohingya dan mendorong diakuinya serta dipenuhi hak-hak etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun.

Untuk itu PIARA menyatakan sikap sebagai berikut:

Kepada Junta Militer Myanmar :

Pertama, mengutuk segala bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap warga  Rohingya baik yang terjadi di dalam maupun di luar Myanmar;
Kedua, mendesak pemerintah Myanmar dan masyarakat Myanmar non Rohingya untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan pembantaian etnis Rohingya atas nama kemanusiaan dan hak asasi manusia serta untuk membebaskan para tahanan Rohingya yang tak bersalah.
Ketiga, mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan Myanmar dan mengakui eksistensi warga Rohingya di Arakan sebagai bagian dari warganegara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan.
Keempat, mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan hak-hak sipil dan politik yang sama terhadap warga Rohingya dalam hal pernikahan, berkeluarga, kebebasan bergerak dan bebas dari segala bentuk intimidasi dan diskriminasi.
Kelima, mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang sama terhadap warga Rohingya sebagaimana yang diberikan kepada warganegara Myanmar yang lain.

Kepada ASEAN
Pertama, mengeluarkan Myanmar sebagai Anggota ASEAN sebagai Negara yang tidak beradab yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida;
Kedua, memerintahkan kepada Pemerintah Myanmar untuk membuka Blokade Militer, Politik, Sosial dan Ekonomi terhadap Arakan dan Warga Rohingya.
Ketiga, memboikot SEA GAMES ke 27 di Naypyidaw, Myanmar apabila Myanmar tidak sanggup menghentikan kekerasan terhadap warga Rohingya dan dan tidak memberikan status kewarganegaraan bagi warga Rohingya.

Kepada Pemerintah Indonesia
Pertama, untuk mengakomodasi para pengungsi Rohingya yang terdampar di Indonesia dengan pelayanan yang sesuai standar kemanusiaan serta untuk tidak mengembalikan mereka ke Myanmar apabila kondisi keamanannya belum kondusif.
Kedua, untuk terus menerus berjuang dalam ranah diplomasi regional dan internasional dalam memperjuangkan kesamaan hak penghentian kekerasan dan diskriminasi bagi warga Rohingya di Myanmar sesuai dengan amanat pembukaan dasar UUD 45.

Save Rohingya Save Humanity bersama PIARASekretariat :
Jalan TB Simatupang No. 19
Kompleks Departemen Sosial RI,
Pasar Rebo, Jakarta Timur 13761
Phone/Fax : 021-8408232
Web : indonesia4rohingya.org
Twitter : @indo4rohingya
Email   : indonesia4rohingya@gmail.com

Senin, 18 Juni 2012

Syarat-syarat Penangguhan Penahanan

oleh


 Terkait dengan penangguhan penahanan, dapat kita lihat ketentuan yang mengaturnya dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,  (“KUHAP”) yang berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
a.        Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
b.        Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
c.        Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.

M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (hal. 215) menjelaskan bahwa salah satu perbedaan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan, terletak pada “syarat”. Faktor ini merupakan “dasar” atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedang dalam tindakan pembebasan, dilakukan “tanpa syarat”, sehingga tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan. Menurut Yahya, penetapan syarat ini merupakan conditio sine quanon dalam pemberian penangguhan. Sehingga, tanpa adanya syarat yang ditetapkan lebih dulu, penangguhan penahanan tidak boleh diberikan.

Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:
-           wajib lapor;
-           tidak keluar rumah;
-           tidak keluar kota.
Itulah syarat yang dapat ditetapkan dalam pemberian penangguhan penahanan. Contohnya adalah dengan membebankan kepada tahanan untuk “melapor” setiap hari, satu kali dalam setiap tiga hari atau satu kali seminggu, dan sebagainya. Atau pembebanan syarat bisa berupa tidak keluar rumah maupun tidak keluar kota.

Lebih jauh, dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP diatur bahwa dalam permintaan penangguhan penahanan, ada jaminan yang disyaratkan yang bisa berupa:
1.        Jaminan Uang (Pasal 35).
-      Jaminan uang ini ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri.
-      Penyetoran uang jaminan ini dilakukan sendiri oleh pemohon atau penasihat hukumnya atau keluarganya dan untuk itu panitera memberikan tanda terima.
-      Penyetoran ini dilakukan berdasar “formulir penyetoran” yang dikeluarkan instansi yang bersangkutan.
-      Bukti setoran ini dibuat dalam rangkap tiga sesuai ketentuan angka 8 huruf f Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983. Tembusan tanda penyetoran tersebut oleh panitera disampaikan kepada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan untuk menjadi dasar bagi pejabat yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan.
-      Apabila kemudian tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah melewati waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.

2.        Jaminan Orang (Pasal 36).
-      Orang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan tahanan.
-      Penjamin memberi “pernyataan” dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa dia “bersedia” dan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri.
-      Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas.
-      Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut “uang tanggungan” (apabila tersangka/terdakwa melarikan diri).
-      Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin.

Timbulnya kewajiban orang yang menjamin menyetor uang tanggungan yang ditetapkan dalam perjanjian penangguhan penahanan:
a.      Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri;
b.      Dan setelah lewat 3 bulan tidak ditemukan;
c.      Penyetoran uang tanggungan ke kas Negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui panitera Pengadilan Negeri;
d.      Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang ditentukan tersebut, jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.

Jadi, untuk seseorang tersangka/terdakwa dapat ditangguhkan penahanannya, perlu dipenuhi syarat-syarat dan ada jaminan yang harus diberikan sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Namun, hal-hal yang disebutkan di atas adalah dalam ranah normatif dan dapat berbeda dengan praktiknya di lapangan. Pada praktik di lapangan, seperti ditulis dalam artikel Penangguhan Penahanan Dengan Uang Jaminan Perlu Diperjelas, penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa dengan jaminan uang sangat berbeda dari yang diatur di dalam KUHAP serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Misalnya saja, pihak panitera pengadilan negeri tidak pernah memberikan tanda terima atas penyerahan uang jaminan yang diberikan pihak tersangka atau kuasa hukumnya. Selain itu, seperti dikatakan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dikutip dalam artikel tersebut, uang jaminan atas penangguhan penahanan yang diberikan sebelumnya, seringkali tidak pernah dikembalikan kepada pihak yang memberikannya meski terdakwa kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983

www.hukumonline.com

Pencabutan Gugatan


Pencabutan Gugatan
 
Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 271 Reglement of de Rechtsvordering (“Rv”), Penggugat dapat mencabut gugatannya sepanjang Tergugat belum menyampaikan jawabannya. Atau apabila sudah masuk ke dalam pemeriksaan perkara, gugatan dapat dicabut jika Tergugat menyetujui hal tersebut.
 
Selanjutnya, dalam Pasal 272 Rv disebutkan secara tegas bahwa yang berhak melakukan pencabutan adalah Klien itu sendiri dalam kapasitasnya sebagai Penggugat (prinsipal) atau Kuasa yang ditunjuk olehnya. 
 
Dalam praktiknya pencabutan gugatan oleh Prinsipal biasanya dilakukan setelah mencabut surat kuasa dari advokat yang telah ditunjuknya. Tentunya pencabutan kuasa dilakukan apabila antara advokat sudah saling memenuhi hak dan kewajibannya, atau sudah bersepakat mengenai pencabutan surat kuasa dimaksud.
 
Namun yang harus diketahui, advokat memiliki hak retensi dalam hal pemberian kuasa. Apabila terdapat kewajiban, misalnya pembayaran biaya jasa hukum, yang belum dipenuhi oleh kliennya, maka advokat dapat menggunakan hak retensinya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1812 KUHPerdata, yang berbunyi:
 
Si kuasa berhak untuk menahan segala apa kepunyaan si pemberi kuasa yang berada di tangannya, sekian lamanya, hingga kepadanya telah dibayar lunas segala apa yang dapat dituntutnya sebagai akibat pemberian kuasa.”
 www.hukumonline.com

Selasa, 05 Juni 2012

Pernyataan Sikap Hari Buruh Sedunia : 1 Mei 2012



PERNYATAAN SIKAP
Memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2012
“Buruh Menggugat”

Nasib buruh yang semakin hari semakin tidak menentu membuat ratusan ribu buruh mengadukan nasibnya dan menuntut perbaikan kesejahteraan di hari buruh sedunia tahun ini kepada Presiden SBY di Istana Negara dan di beberapa wilayah di seluruh Indonesia. Para Buruh menuntut perbaikan kesejahteraan dan menuntut penghapusan terhadap praktek outsourcing. Nasrulloh Nasution, penggiat hukum dan HAM, yang aktif melakukan pembelaan terhadap kaum buruh mengatakan pada kesempatan peringatan May Day bahwa Buruh masih berada pada posisi yang tidak seimbang dengan pengusaha, selaku pemilik modal. Para Buruh masih mengalami diskriminasi, khususnya diskriminasi terhadap hak berserikat, upah, dan juga diskriminasi terhadap status hubungan kerja. Nasrulloh menambahkan bahwa kebijakan yang ditelurkan pemerintah lebih berpihak kepada pemilik modal, sedangkan terhadap keberpihakan tersebut pada akhirnya berimbas kepada nasib buruh yang selalu pada pihak yang dirugikan.

“Penegakkan hukum di bidang ketenagakerjaan terhadap pengusaha-pengusaha “nakal” menjadi salah satu sebab pelanggaran terhadap hak-hak buruh tidak pernah terselesaikan, dimana hal ini menyebabkan perbaikan terhadap nasib buruh jalan di tempat”, tegas Nasrulloh.  Menurutnya, pemerintah telah gagal membereskan birokrasi terkait investasi di Indonesia baik asing maupun dalam negeri. Birokrasi yang rumit dan berbelit-belit tentunya berdampak pada cost yang harus dikeluarkan investor ketika berinvestasi di Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pada hak-hak yang diterima buruh Indonesia, tambahnya. Agar nasib buruh ini menjadi fokus perhatian, Nasrulloh kemudian meminta pemerintah untuk berani menindak pengusaha-pengusaha “nakal” dan memprosesnya ke jalur hukum serta membereskan sistem birokrasi yang berbelit-belit dan rumit, agar tidak ada lagi buruh yang dikorbankan.

Nasrulloh yang juga menjabat Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) INDONESIA, juga meminta agar pemerintah merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 17/2005yang mengatur tentang upah yang layak. Menurutnya, PERMEN yang dibuat tahun 2005 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kondisi saat ini serta sudah tidak lagi memenuhi rasa keadilan bagi para Buruh. Nasrulloh menambahkan, pemerintah juga harus memberikan perlindungan dan perhatian lebih kepada para buruh yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, khususnya sektor PRT yang sering menjadi korban diskriminasi dan penganiayaan dari negara tempatnya bekerja dan dari majikannya. Menurutnya, hal tersebut untuk menjamin adanya keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi buruh Indonesia.

Jakarta, 1 Mei 2012


Nasrulloh Nasution, SH
Dir.Eksekutif PAHAM INDONESIA

AROGANSI PEMILIK SENJATA API

PRESS RELEASE :

AROGANSI PEMILIK SENJATA API : CABUT SKEP/82/II/2004

Maraknya penyalahgunaan kepemilikan senjata api (senpi) semakin menegaskan bahwa hidup di Indonesia ternyata tidak-lah aman. Bagaimana tidak, penyalahgunaan senjata api tersebut telah banyak melukai dan menewaskan warga sipil, serta meresahkan keamanan dan kenyamanan yang seharusnya didapatkan oleh warga masyarakat. Kondisi seperti ini telah menimbulkan keprihatinan di kalangan para penggiat HAM.

Nasrulloh Nasution, SH, Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) INDONESIA, menyatakan bahwa maraknya penyalahgunaan senpi telah melanggar HAM serta menimbulkan keresahan dan gangguan keamanan. Menurutnya, legalisasi yang diberikan oleh Surat Keputusan Kapolri Nomor POL. SKEP/82/II/2004 tanggal 18 Februari 2004 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non-Organik TNI/Polri , memberikan ruang dan celah praktik penyalahgunaan senpi. Apalagi, di dalam SKEP/82/II/2004, diberikan kewenangan bagi sebagian pejabat negara, kalangan profesi, dan juga masyarakat umum untuk memiliki senjata api, yang semakin menimbulkan sifat arogansi dan menimbulkan ketidaknyamanan serta ketakutan di dalam masyarakat. Hal tersebut jelas-jelas melanggar HAM dan mengganggu ketertiban umum, tambahnya.

Menurut Nasrulloh, Polisi harus segera melakukan penertiban terhadap seluruh warga negara baik sipil, TNI/POLRI, maupun pejabat, yang memiliki senpi baik legal maupun ilegal, untuk menjamin adanya persamaan di depan hukum dan menjamin adanya keamanan dan kenyamanan bagi seluruh warga negara, yang mana hal tersebut merupakan tugas pokok kepolisian.

Nasrulloh menegaskan, bahwa seharusnya pengaturan mengenai senjata api baik kepemilikan dan penggunaannya harus diatur di dalam undang-undang, bukan diatur di dalam peraturan kepolisian, karena kepemilikan senjata api menyangkut HAM dan penggunaannya berpotensi besar melanggar HAM. Oleh karenanya, pengaturan dan pembatasannya harus dilakukan melalui undang-undang sebagaimana diatur dan diamanatkan oleh Konstitusi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“SKEP/82/II/2004 harus segera dicabut. Pemerintah dan DPR harus segera mengamandemen UU No.12/DRT/1951 yang mengatur tentang Senjata Api, untuk menjamin perlindungan keamananan terhadap warga negaranya”, pungkas Nasrulloh. (07-05-2012-PAHAM INDONESIA).

PAHAM INDONESIA
Jalan TB. Simatupang No. 19
Kompleks Departemen Sosial RI
Pasar Rebo, Jakarta Timur
Telp/Fax: 021-8408232
Website: www.pahamindonesia.org

Menyoal isu HAM untuk Ahmadiyah

Menyoal isu HAM untuk Ahmadiyah


Oleh: Zainudin Paru, S.H.

Negara Hukum
Pada dasarnyasetiap warga negara Indonesia dilindungi oleh hukum, termasuk urusan HAM. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3)[2] jo. Pasal 27 ayat (1)[3] UUD Negara Republik Indonesia, sehingga tiap hal yang dilakukan di negara ini harus beralaskan hukum. Hukumlah yang mengatur hak serta kewajiban tiap warga negara apa pun jabatannya, apa pun institusinya.

Terkait dengan perimbangan hak asasi manusia di Indonesia, Pasal 28 J ayat (2)[4] adalah frame yang dapat diartikan secara singkat bahwa hak seseorang akan suatu hal terikat dengan hak orang lain. Oleh karenanya, tidak serta merta hak seseorang dapat terwujud tanpa mempertimbangkan hak orang lain yang bersinggungan dengannya. Pada bagian ini termasuk masalah yang cukup sensitif, agama.

Setidaknya pengaturan masalah agama dalam UUD Negara Republik Indonesia dapat dilihat dari Pasal 28E[5] dan Pasal 29 ayat (2)[6]. Pada dua pasal ini dengan tegas dinyatakan hak setiap orang dan kewajiban pemerintah. Sehingga menjadi hak tiap orang untuk memilih agama kemudian melaksanakan ajaran agamanya itu, di sisi lain Pemerintah berkewajiban menjamin orang yang sudah memilih agamanya agar mereka dapat tetap menjalankan agamanya tanpa ada yang merecoki. Lantas bagaimana dengan kasus Ahmadiyah?

Pada kasus Ahmadiyah, tiap orang yang bergabung dengan organisasi tersebut memiliki hak yang sama dengan yang lain dalam menentukan agamanya. Ketika para pengikut Ahmadiyah meyakini Islam sebagai agama mereka, maka pengikut Ahmadiyah otomatis dijamin oleh Pemerintah untuk melaksanakan ibadah sebagaimana diajarkan oleh Islam. Kenyataanya adalah, prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Islam mengenai Rasulullah Muhammad sebagai Nabi terakhir dan Al Qur'an sebagai Kitab Suci dengan terang-terangan dilanggar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat semenjak tahun 1980, lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005[7]. Fakta ini membuktikan bahwa Agama Islam yang diyakini sebagai agama pengikut Ahmadiyah tidak dilaksanakan dengan sepenuhnya, sehingga penyimpangan yang dilakukan oleh pengikut Ahmadiyah telah mencederai hak umat Islam dalam melaksanakan agamanya.

Islam sendiri terhadap kelompok demikian telah memiliki aturan tersendiri sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad dan Abu Bakar selaku pemimpin negara, yaitu memerangi. Tindakan memerangi itu pun dilakukan sebagai langkah terakhir jika himbauan-himbauan sebelumnya tidak diindahkan. Hal itu dilakukan mengingat perbedaannya dengan perlakuan terhadap agama lain, yaitu "Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku" (QS. Al Kaafiruun 109: 6). Oleh karena di Indonesia tidak dapat dilakukan hal yang demikian, maka Pemerintah dalam rangka melaksanakan kewajibannya (menjamin kemerdekaan beragama) harus melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Artinya, selama pengikut Ahmadiyah tidak melaksanakan ajaran Islam secara konsisten maka pemerintah wajib melindungi pihak lain yang dicederai, Umat Islam.

Kriminalisasi
Suatu negara dapat menjadikan sebuah perbuatan yang sebelumnya normal menjadi perbuatan kriminal dengan sebuah peraturan perundang-undangan, contohnya tentang ketentuan membawa SIM ketika mengendarai kendaraan. Begitu juga dengan kewajiban pemerintah menjamin kemerdekaan beragama dan menjalankan agama bagi pemeluknya. Pemerintah perlu menjaga hak beragama dari penduduk yang ada dalam wilayah kekuasaannya agar tidak dicederai oleh satu atau beberapa orang. Untuk itu, Pemerintah memerlukan perangkat yang mampu menjaga korban sekaligus sebagai terapi bagi pelakunya.

Pada kasus Ahmadiyah atau yang sejenisnya, seperti Lia eden dan Ahmad Moshaddeq. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agamayang kemudian diikuti oleh Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor 108/JA/5/1984[8] tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pakem, adalah mekanisme yang telah diatur dan masih berlaku dalam menyelesaikan tindakan yang dianggap pidana.

Mekanisme itu sendiri diatur untuk memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP[9]. Proses pemidanaan ini sesuai dengan asas legalitas Pasal 1 KUHP[10].Lantas bagaimana dengan anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 sudah tidak relevan dengan demokrasi saat ini?

Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, menjadikan sebuah peraturan yang telah ditetapkan hanya bisa dicabut atau dinyatakan tidak berlaku dengan mekanisme tertentu. Selama mekanisme tersebut belum dijalani, maka peraturan itu tetap mengikat. Mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA) hanya dilakukan dalam rentang waktu 6 bulan sejak di sahkan, itu pun peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang seperti peraturan Pemerintah (PP). Sedangkan undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tetap memperhatikan syarat-syarat yang mengikutinya.

Khusus pengajuan permohonan ke MK, dengan alasan tertentu dapat saja MK mengabulkan permohonan sang pemohon untuk menyatakan tidak berlakunya UU No.1/PNPS/1965. Seandainya pun dicabut, tidak serta merta menjadikan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah menjadi batal. Patut kita ingat kasus korupsi yang berlandaskan PP 110 tahun 2000 yang tidak serta merta "ditinggalkan" meski sudah diajukan judicial review, dan meski UU No 22 tahun 1999 sudah di ganti menjadi UU No 32 tahun 2004. PP tersebut harus menunggu terlebih dahulu penerbitan PP terbaru yang kemudian diatur dalam PP 24 tahun 2004. Ini menunjukkan bahwa sebuah peraturan harus memenuhi kaidah dalam pembuatan dan pencabutannya, yaitu kaidah proses dan lembaga yang berwenang. Maksudnya adalah sebuah peraturan baru dapat dinyatakan tidak berlaku jika ada peraturan dan/atau lembaga yang sama, atau lebih tinggi, yang menyatakan bahwa peraturan sebelumnya tidak berlaku.


Filosofi Kebenaran
Banyak pihak yang mempertanyakan posisi MUI yang menerjemahkan kebenaran atau sesuatu yang dianggap benar, dalam hal ini terkait keputusan MUI menyatakan "sesat menyesatkan"-nya suatu kelompok. Pada dasarnya kebenaran diketahui dari ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari pengalaman (empiris) maupun dari wahyu (normatif). Misalkan mengenai teori Heliosentris, yaitu bumi yang mengitari matahari, dimana hal ini sudah disampaikan berabad lalu di daerah tandus padang pasir melalui Al Qur'an (normatif) dan kemudian dibuktikan (secara empiris) oleh manusia. Berdasarkan ilmu dan pengetahuan itulah, manusia melalui nalar dan daya pikirnya mampu menganalisa hal yang benar untuk kemudian diyakini bersama. Jika tidak demikian, maka manusia akan terus berkutat dipertanyaan-pertanyaan yang tidak kunjung habis.

  1. Apa yang dapat menjadikan pendapat anda dikatakan benar?
  2. Apa kriteria bahwa dasar pendapat anda adalah benar?
  3. Siapa yang membenarkan?
  4. Apakah mereka orang-orang benar?
  5. Apa kriteria bahwa mereka termasuk orang yang benar?
  6. … dan seterusnya.
Penulis hendak mengutip contoh dari Prof. Sjeichul Hadi Permono, MA[11]"Contoh kecil saja. Kalau tidak ada institusi yang berani mengatakan yang 'benar' itu benar dan yang 'salah' itu salah. Maka negara ini bingung. Nanti polisi bubar karena tak berani menangkap penjahat. Sebab setiap mau menangkap dia tak berani  karena sudah keracunan 'tak ada monopoli dalam kebenaran'. Jika begitu, bisa-bisa orang membunuh orang dianggap benar menurut dia sendiri. Dan kita tak boleh mengatakan itu salah.".

Lantas, siapa yang harus dijadikan pegangan selain orang yang berilmu?

SKB 2 Menteri & Jaksa Agung
SKB tentang Ahmadiyah telah ditetapkan 9 Juni 2008 oleh Menteri Agama, Mentari dalam negeri, dan Jaksa Agung. Ada 7 poin yang menjadi putusan dalam SKB itu[12]. Ketujuh putusan itu diklaim oleh Pemerintah telah menempatkan para pihak pada alas hak dan alas hukumnya masing-masing, namun juga memperkenankan bagi yang belum puas untuk menggugatnya di pengadilan.

Pada bagian lain, sebaik apapun peraturan mengakomodasi kepentingan para pihak, tetap efektifitasnya memerlukan memerlukan konsistensi dalam penerapannya di lapangan. Pemerintah diuji konsistensinya dalam menjalankan apa yang telah ditetapkan. Selama peraturan tersebut belum diperbaiki, atau dicabut, oleh lembaga dan/atau peraturan yang lebih tinggi, maka Pemerintah harus tegas menjalankannya. Tanpa itu, sama saja Pemerintah telah kehilangan kedaulatannya dalam menegakkan hukum yang sudah ditetapkan.

Masalah inilah yang kerap membelit penegakan hukum di Indonesia. Terekam dalam pikiran kita penanganan anggota Front Pembela Islam (FPI) di petamburan beberapa waktu lalu. Hal ini sangat berbeda dengan penanganan pelantikan Gubernur Malut, atau penanganan demonstrasi oleh Mahasiswa di Universitas Nasional (UNAS) dan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Padahal inti dari itu semua sama, keamanan dan ketertiban umum.


Harapan
Pada masa yang akan datang, perlu dipahami bersama bahwa hak asasi manusia yang diakui di ndonesia tidaklah sama dengan hak asasi di negara lain. Kemajemukan dan keanekaragaman yang telah ada pada bangsa Indonesia, telah terewajantahkan dalam UUD Negara Republik Indonesia yang turut mengakomodasi hak setiap orang. Yaitu hak yang tidak mengenyampingkan hak orang lain, hak yang menimbulkan kewajiban di sisi lainnya. Ketika kita telah mengambil hak untuk memilih satu agama, maka menjadi kewajiban kita menjalankan apa yang diajarkan dalam agama itu. Apabila tidak demikian, berarti telah mengenyampingkan hak orang lain dalam beragama.

Selain itu perlu dipahami bahwa hak asasi berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Kebebasan berkumpul yang diatur di Indonesia juga menjadikan organisasi seperti FPI dan Ahmadiyah berhak hidup di Indonesia. Negara tidak dapat serta merta membubarkan suatu "idologi" terkecuali secara nyata-nyata melanggar hukum dan mengancam integritas negara seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mengenai pasal penodaan agama hanya cocok dikenakan kepada individu dari suatu organisasi. Sehingga pelaku kekerasan diproses secara individual dan tidak dengan membubarkan organisasinya. Pada bagian ini, kepolisian harus adil dalam melakukan tugasnya. Penangkapan seharusnya tidak hanya pada oknum FPI namun juga kepada oknum Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Terkait Ahmadiyah yang telah difatwakan menyimpang dari Ajaran Islam, harus diperlakukan sebagai agama tersendiri di luar Islam. SKB 2 Menteri dan Jaksa Agung yang telah ditetapkan setidaknya menjadi jalan keluar terbaik pada saat ini meski dinilai lemah kekuatan hukumnya. Pengaturan yang lebih jelas dan kuat diperlukan agar tiap pihak mapu menempatkan diri pada posisinya.


[1] Direktur Eksekutif Pusat Advokasi Hukum & Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia
[2] Negara Indonesia adalah negara hukum
[3] Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
[4] Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
[5] Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…dan seterusnya.
[6] Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah
[8] Terakhir diperbaharui dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
[9] Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
[10] Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya
[11] http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2140&Itemid=61
[12] Berikut 7 poin yang sesuai dengan SKB yang asli:
a         Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
b         Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,  dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
c         Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
d         Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
e         Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
f          Memerintahan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
g         Keputusan bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Di sampaikan pada diskusi di FIB UI 13 Juni 2009

 pahamindonesia.org

Hak Istri Saat Jual Beli Rumah

Hak Istri Saat Jual Beli Rumah

Nama Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah
 
Pada dasarnya, nama pemilik hak atas tanah di dalam suatu sertifikat hak atas tanah harus sama dengan nama pembeli di dalam suatu transaksi jual beli. Namun, hal tersebut tidak selalu mutlak terjadi apabila ternyata pembeli di dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (“PPJB”) telah mengalihkan kepada pihak ketiga, atau dalam hal si pembeli meninggal dunia sehingga sertifikat hak atas tanah menjadi atas nama pewarisnya. Untuk melihat apakah PPJB tersebut dapat dialihkan, maka Anda dapat mempelajari klausula peralihan PPJB ke pihak ketiga di dalam PPJB tersebut. Peralihan PPJB ke pihak ketiga juga diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, pada Bagian VIII mengenai Pengalihan Hak, sebagai berikut:
 
“Selama belum dilaksanakannya jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tanpa persetujuan tertulis dari pihak penjual, pihak pembeli dibenarkan untuk mengalihkan hak atas tanah dan bangunan rumah kepada pihak ketiga. Demikian pula sebaliknya berlaku bagi pihak penjual.”
 
Namun, yang perlu dimengerti adalah nama pembeli di dalam AJB tentunya harus sama dengan nama pemegang hak di dalam Sertifikat Hak atas Tanah. Adapun hal tersebut karena suatu pendaftaran hak atas oleh karena jual beli tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), sebagai berikut:
 
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pemegang Hak Bersama dalam Satu Sertifikat Hak atas Tanah
 
Satu sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dimiliki oleh beberapa orang atau badan hukum. Dalam praktiknya, beberapa orang atau badan hukum yang memiliki sertifikat hak atas tanah tersebut disebut sebagai pemegang hak bersama. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (4) dan ayat (5) PP No. 24/1997, sebagai berikut:
 
(4) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukkan tertulis para pemegang hak bersama yang lain.
 
(5) Mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing dari hak bersama tersebut.”
 
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)

Secara prinsip, nama pengaju akad kredit harus sama dengan nama yang tercantum di dalam sertifikat karena pengaju akad pada umumnya ialah pembeli dari suatu properti. Sebagai pembeli yang namanya tercantum di dalam PPJB, tentunya pembeli tersebut akan menjadi pihak ketika dilakukan penandatanganan AJB yang pada akhirnya mengakibatkan nama pembeli tercantum di dalam sertifikat hak atas tanah. Namun, bisa juga terjadi, pengaju akad ialah suami, sedangkan nama yang tertera di dalam sertifikat tanah ialah istri. Hal ini bisa terjadi jika tidak ada perpisahan harta antara suami dan istri tersebut.
 
Harta Bersama
 
Terhadap harta bersama, maka suami atau istri dapat bertindak setelah terdapat persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1/1974”). Pengertian dari harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974, sebagai berikut:
 
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;”
 
Namun, untuk membuktikan bahwa objek jual beli tersebut merupakan harta bersama, tentunya diperlukan suatu bukti pencatatan perkawinan (akta perkawinan) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 jo. Pasal 11 dan Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari bukti tersebut dapat diketahui apakah objek jual beli tersebut merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan, kartu keluarga pada hakikatnya adalah suatu kewajiban pelaporan oleh warga Negara Indonesia atas susunan keluarganya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sehingga, kartu keluarga dapat dianggap kurang memadai untuk membuktikan suatu perkawinan maupun harta bersama.
 
Penjualan Rumah Tanpa Adanya Akta Perkawinan
 
Jika memang tidak ada surat nikah (bukan karena hilang, tapi karena nikah siri), maka perkawinan tersebut bukanlah perkawinan yang tercakup di dalam UU No. 1/1974. Dengan demikian, tidak ada konsep persatuan harta. Dengan kata lain, tidak ada percampuran harta antara keduanya. Oleh karena itu, harta suami ialah milik suami dan harta istri ialah milik istri.
 
Demikian jawaban dan penjelasan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3.    Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4.    Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
5.    Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah


www.hukumonline.com